OPINI PUBLIK TERBENTUK DALAM DEBAT PUBLIK
YANG DIJALANKAN MEDIA MASSA
Oleh: Rahmatul Furqan*
Peran strategis media massa semakin tidak diragukan lagi. Berbagai fakta menunjukan betapa besar pengaruh media bagi masyarakat. Sebut saja beberapa kasus yang ramai diangkat di media massa belakangan ini seperti, kasus hukum yang dialami Prita, kasus Cicak Vs Buaya, sampai pada kasus yang lagi hangat-hangatnya dibicarakan yaitu, kasus Artalita yang mendapat perlakuan istimewa dalam tahanan. Semua kasus-kasus tersebut mendadak menjadi perhatian dan mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat semenjak diangkat oleh media massa. Prita misalnya yang berhasil memperoleh dukungan koin bernilai puluhan juta rupiah hasil dari simpatisan masyarakat, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil mendapatkan dukungan dari ribuan pengguna situs jejaring. Semua respon tersebut muncul akibat pengaruh besar oleh media yang memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik. Sesuatu yang semula tidak diketahui atau tidak diperhatikan dapat menjadi hal yang luar biasa ketika diinformasikan oleh media.
Tentunya, sebagai wahana yang diharapkan mampu menjadi ruang publik yang baik bagi masyarakat, media massa tidak sebatas berfungsi sebagai penyaji informasi. Namun, media massa juga diharapkan mampu menjadi wadah bagi masyarakat umum untuk menyalurkan aspirasi, ide dan gagasannya. Hal ini sesuai dengan konsep media sebagai ruang publik yang dicetuskan oleh Habermas. Sebagai ruang publik, media massa seharusnya memberikan warga negara tempat yang terhormat, bukan hanya dipandang sebagai konsumen belaka yang hanya menerima informasi yang disuguhkan. Media massa harus mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat. Masyarakat tidak hanya sebatas mendengarkan tapi juga ikut berbicara, ikut berdebat. Jadi, media dituntut mampu memberikan ruang yang lebih bagi warga negara agar dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama sehingga opini publik dapat terbentuk.
Opini publik sendiri dalam hal ini merupakan suara masyarakat umum yang menjadi arus wacana publik. Opini publik dibentuk dalam debat publik dimana terjadi pertukaran argumentasi atau saling mengkritisi. Dulunya, debat publik sering kali dilakukan di kedai-kedai minuman. Namun, seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi, media massa pun menjadi wadah yang diharapkan mampu menampung debat publik. Jadi sekarang ini, opini publik itu sendiri lahir dari debat publik yang dijalankan oleh media massa. Penting bagi media massa untuk menyiapkan ruang yang sebesar-besarnya untuk memfasilitasi debat publik yang terjadi. Sehingga semua aspirasi golongan masyarakat dapat ditampung. Jadi, debat publik mengangkat berbagai aspirasi atau adu argumentasi antara berbagai kaum dan golongan. Tak peduli itu pendapat dari golongan minoritas ataupun mayoritas, tak peduli dari kaum bermodal atau pun tak bermodal. Untuk menjalankan debat publik yang baik, media massa harus memberikan ruang yang sama besarnya bagi semua pihak untuk mengungkapkan aspirasinya sehingga terjadi adu argumentasi yang seimbang.
Dengan adanya kesetaraan suara atau ruang yang diperoleh di media massa maka akan menjamin lahirnya demokrasi yang baik dan ujungnya akan membentuk opini publik itu sendiri. Sesuai dengan prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri bahwa, kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat atau publik. Maka untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi yang baik, opini publik harus didengarkan dan diperhitungkan. Itulah mengapa, media memegang peranan strategis yang diharapkan mampu menjalankan debat publik sehingga mampu membentuk opini publik yang akan berujung pada demokratisasi yang lebih mapan. Pada akhirnya, opini publik yang lahir dari debat publik dalam media tersebut akan menunjang kepentingan publik, menegakan keadilan, dan kebenaran.
Pertanyaannya, sejauh mana media sekarang ini telah memberikan ruang bagi berjalannya debat publik? Jika kita memperhatikan ruang yang diberikan oleh media massa saat ini, media tampak belum maksimal menjalankan fungsinya untuk membentuk opini publik. Industri media masih terikat oleh struktur pasar yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Semakin banyak modal yang dimiliki seseorang atau suatu golongan, maka semakin luas ruang yang ia dapatkan. Dalam hal ini, kesetaraan atau kesamaan hak bersuara tidak diberikan oleh media. Bisa dilihat dengan jelas, media seringkali memihak dalam sebuah pemberitaan hanya untuk membela kepentingan pihak atau golongan tertentu.
Faktanya, beberapa media massa ada yang dibawah kekuasaan pemain dalam dunia perpolitikan. Bisa kita lihat dalam pemilu kemarin, tiap media menunjukan ketidakadilan dan memberikan ruang yang berbeda bagi tiap tokoh politik untuk berkempanye. Masing-masing media mencoba menciptakan gambaran positif tentang tokoh politik yang menguasainya dan menjelek-jelekkan tokoh lawan. Setiap tokoh politik yang mampu membayar lebih, maka akan mendapatkan ruang yang lebih banyak untuk berkempanye. Sehingga yang terjadi adalah media tidak lagi menjadi ruang publik yang baik, yang memberikan kesempatan yang sama atau one person one voice, melainkan menjadi one dollar one voice.
Karena berorientasi pada kapital dan masih dibawah kekuasaan atau kontrol pemilik media, media sendiri mulai menseleksi informasi yang muncul, informasi yang dirujukan berdasarkan kepentingan sebagai entitas bisnis atau politik. Hanya informasi yang mendukung keberlangsungan usahanya yang akan ditampung. Lebih dari itu, media kini hanya memberikan ruang pada golongan mayoritas dan tidak mempedulikan pendapat kaum minoritas. Apa yang menjadi kepentingan mayoritas, itu yang akan dibahas sebab dengan itu media akan memperoleh khalayak yang tinggi dan pada akhirnya mendapat keuntungan yang tinggi pula. Golongan-golongan minoritas seolah tidak lagi terdengar suaranya. Media tidak memberikan ruang yang cukup bagi mereka untuk berpendapat dan memberikan argument mereka. Sebut saja beberapa contoh golongan minoritas seperti, kaum penyimpangan sexual ataupun atheist. Opini dari kaum-kaum tersebut sangat jarang didengar di media masa. Golongan minoritas tidak diberikan ruang yang sama untuk bersuara. Sehingga golongan minoritas pun selalu menjadi golongan yang kalah dan tertindas
Dengan ini, harus diakui bahwa sebenarnya industri media tidak lagi melihat masyarakat sebagai citizen melainkan sebagai consumers atau target pasar. Masyarakat tidak lagi dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak untuk bersuara. Warga negara dilihat sebagai obyek pasif yang dapat diubah dan dibentuk oleh media itu sendiri. Media masa dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan para kaum kapitalis yang sekaligus merupakan penguasa. Apa yang dilakukan oleh media hanyalah sebatas untuk memperoleh keuntungan bukan lagi sebagai ruang yang menjalankan debat publik. Alih-alih menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat di dalam debat publik, media telah bertransformasi menjadi ruang iklan, dimana politisi dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Pada akhirnya, kaum kapitalislah yang paling diuntungkan. Penguasa pasarlah yang memperoleh keuntungan dari media masa.
Pada tahap ini, masyarakat tidak lagi dapat berharap banyak dari media masa. Debat publik yang diharapkan dapat berjalan melalui media masa semakin terkikis oleh kepentingan kaum kapitalisme. Tiap ruang di media masa telah dijual demi mendapat keuntungan. Rubrik-rubrik yang seharusnya menjadi wadah untuk menampung aspirasi masyrakat justru telah dijual menjadi “kolom iklan”. Dalam artian, media masa tidak lagi mempedulikan kepentingan demokrasi karena sibuk mengejar keuntungan.
Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana media masa sekarang ini tidak mampu menampung pemberitaan secara berimbang. Kaum bermodal dan tak bermodal diberikan ruang tidak sama besarnya. Begitupun dengan kaum minoritas dan mayoritas. Dapat dipastikan bahwa debat publik yang diharapkan dapat dijalankan oleh media massa semakin tidak sesuai harapan. Ketika tiap individu ataupun golongan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mencurahkan ide dan argumentnya maka tidak mungkin debat publik yang baik dapat terjadi. Sebab sekali lagi, debat publik merupakan adu pendapat antara individu ataupun golongan mengenai berbagai masalah-masalah politik dengan tujuan untuk mencari hasil terbaik dan mengejar kepentingan bagi publik. Namun, ketika tidak semua individu atau pun golongan memperoleh ruang dan kesempatan yang sama, maka bagaimana mungkin debat publik itu dapat dikatakan sebagai debat yang sehat dan berimbang.
Lantas melihat realitas dalam media masa kita sekarang, pertanyaanya yang kembali muncul adalah masih dapatkah opini publik terbentuk melalui media masa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, opini publik itu sendiri seharusnya lahir dari debat publik yang pada akhirnya akan menempatkan kepentingan publik di atas segala-galanya. Ketika kita melihat bahwa media sekarang ini tidak beimbang dan tidak memberikan ruang yang pantas untuk menjalankan debat publik, maka opini seperti apa yang dihadirkan media? Sudah dapat ditebak, ketika debat publik tidak berjalan sebagaimana mestinya, ketika media mengalami keberpihakan pada golongan tertentu atau golongan bermodal, ketika golongan minoritas dan golongan yang tak bermodal tak lagi didengar, maka yang terbentuk bukanlah lagi opini publik melainkan penindasan. Kepentingan yang dibela oleh media massa bukanlah lagi kepentingan publik melainkan kepentingan individu atau golongan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa media tidak lagi menjadi ruang untuk menampung opini publik melainkan telah bertransformasi menjadi wahana untuk merekayasa opini publik itu sendiri. Yang terjadi adalah pembentukan opini oleh media massa itu merupakan buah campur tangan dari para penguasa pasar. Opini publik bukanlah milik publik karena sudah dikuasai para elite media, politik, maupun ekonomi. Pihak atau pun golongan tertentu menguasi media massa dan mengejar keuntungan materi maupun menggunakan media untuk memperoleh kekuasaan.
Rekayasa terhadap opini publik semakin marak di media massa. Dengan mengatasnamakan membela kepentingan publik, media justru berusaha memperoleh keuntungan. Apa yang menjadi opini kaum kapitalis diangkat seolah-olah itulah opini publik. Padahal jelas, bahwa opini yang lahir dari media massa sekarang ini sering kali tidak membela kepentingan publik sebab tidak dibentuk oleh debat publik. Yang terjadi adalah monopoli dan manipulasi argumentasi. Debat publik yang diharapkan mampu menjadi ruang bagi tiap golongan justru hanya dikuasai oleh sebagian pihak dan opini yang terbentuk dimanipulasi seolah-olah memang opini publik yang membela kepentingan publik. Padahal jelas yang dibela adalah kepentingan golongan-golongan bermodal tadi. Pada akhirnya, apa yang ideal bagi para kapitalis akan dianggap ideal pula oleh masyarakat. Semuanya dimanipulasi sedemikian rupa oleh para kapitalis agar dapat mempengaruhi publik. Media massa justru menjadi alat bagi kaum kapitalis dan mencoba mempengaruhi masyarakat. Sehingga, lahirlah masyarakat konsumerisme.
Kondisi media massa yang telah bertransformasi membela kepentingan pasar ini menjadikan media massa dipandang sentiment oleh banyak pihak. Kegagalan media massa dalam menjalankan debat publik yang baik berdampak pada ketidakpercayaan beberapa orang terhadap informasi yang diberikan media. Pada akhirnya berujung pada tiada munculnya semangat kewarganegaraan (citizenship) di kalangan masyarakat. Seolah-olah warga negara di sini hanyalah kelas menengah yang beropini, selebihnya adalah rakyat biasa (people). Debat publik yang seharusnya dijalankan oleh media memiliki arti penting bagi warga negara untuk mewujudkan kepentingan bersama (publik) bukan hanya kepentingan beberapa pihak tertentu.
Seharusnya media massa di sini mulai memberikan ruang yang tepat bagi debat publik agar nantinya dapat tercapai keberlangsungan kepentingan publik. Media massa tidak boleh hanya memperjuangkan kebebasan untuk dirinya sendiri. Sebab, ada yang lebih tinggi nilainya dibanding kebebasan itu sendiri, yakni hati nurani. Bagaimana pun hati nurani akan memberikan pengaruh, sehingga hanya media yang mempunyai nuranilah yang bisa diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, media yang cuma mengedepankan kebebasan secara alami akan menghadapi kendala dalam penerimaaan masyarakat dan akan ditinggalkan. Banyak bukti betapa sekarang beberapa masyarakat bahkan mulai kehilangan kepercayaan dan mulai meninggalkan media-media yang dianggap tidak mampu menghadirkan debat publik yang baik, atau yang dianggap hanya membela kepentinga pihak tertentu. Bisa dikatakan inilah mungkin salah satu penyebab mengapa masyarakat sekarang ini menaruh apresiasi yang lebih besar terhadap media baru (media internet) karena masyarakat menganggap internet mampu menjadi ruang publik yang lebih baik yang mampu menjadi wadah bagi jalannya debat publik.
Maka, demi mengembalikan nama baik media massa, terutama media konvensional, sudah selayaknya media mulai memberikan ruang yang lebih agar terciptanya debat publik yang baik. Media massa sudah seharusnya menjadi tempat bagi publik untuk menyampaikan opininya. Media massa harus mampu mengikis egoisme para pemilik modal agar lebih membela kepentingan publik hingga benar-benar terbentukanya opini publik yang membela kepentingan publik itu sendiri. Demi menyempurnakan demokrasi, setiap media sebaiknya lebih memberikan ruang bagi publik untuk beraspirasi, saling beradu argumentasi, dan pada akhirnya masyarakat kembali mendapatkan semangat kewarganegaraannya dan kembali bersemangat untuk mewujudkan kepentingan bersama.
* Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP-UNDIP 2008
DAFTAR PUSTAKA
Sudibyo, Agus. Kebebasan semu: Penjarahan Baru di Jagad Media. Penerbit buku Kompas: 2009
Kant, Immanuel. Ruang Publik Politis: Komunikasi Politis dalam Masyarakat Majemuk http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/komunikasi/kom1.htm.
(Tanggal Akses: Kamis, 14-01-2009)
Resmi,Rachmad. Menunggu Kematian Media.
http://rachmadresmi.blog.ugm.ac.id/?tag=media-massa (Tanggal Akses: Kamis, 14-01-2009)
Abdullah, Imaduddin. Peran Strategis Media Dalam Pembentukan Opini Publik. http://ppsdms.org/peran-strategis-media-dalam-pembentukan-opini-publik.htm
(Tanggal Akses: Kamis, 14-01-2009)
Darmawan, Aris. Ruang Publik,Milik Rakyat!
http://ruangpublik.blogspot.com/2007/06/ruang-publikmilik-rakyat.html
(Tanggal Akses: Jumat, 15-01-2009)
No comments:
Post a Comment